Kesialanku
Hari ini
Aku berlari kencang
mengejar bus sekolah. Namun bus itu tak ingin berhenti walau satu menit pun dari
pukul 06.30 WIB. Susah payah aku berlari, mengangkat rok panjangku dan
mengabaikan jilbabku namun masih saja bus itu melenggang pergi. Terlambat, itulah
bus yang terakhir. Apa salahnya sih ia menunggu sebentar saja padahal aku sudah
berteriak – teriak.? Kutelan bulat – bulat rasa jengkelku itu, busnya sudah
pergi. Keringatku bercucuran akibat lari pagi yang kulakukan.Rasanya hari ini
kesialanku dimulai.
Terpaksa
aku harus naik bus bimbar, sebuah angkutan umum yang mengangkut khalayak ramai
sampai daerah dapur 12, salah satu daerah paling ujung di Batam, termasuklah di
sana sekolahku SMA Negeri Kepulauan Riau. Anak - anak sekolah yang ketinggalan
bus sekolah harus bersabar menanti. Sabar walau jam sudah menunjukkan
kedigdayaannya.
Jam masuk sekolah kami adalah pukul
07.15 WIB. Kalau naik bus sekolah tak perlu waktu lama untuk sampai ke Sekolah,
kira – kira hanya 15menit saja dari pukul 06.30 WIB, itupun kalau beruntung
bertemu dengan bus yang terakhir.Sedangkan bus bimbar, kira – kira butuh 30
menit bahkan bisa lebih untuk sampai ke sekolah tergantung seberapa banyak
jumlah penumpangnya.
Sebenarnya
yang membuat bus ini terasa lama adalah mereka selalu ngetem mencari penumpang
disembarang tempat dan tak mengenal waktu. Pernah kami serentak menggerutu
ketika mereka menunggu seseorang di simpang duriangkang, lama sekali.
“ Dasar anak sekolah nggak tau diri,
masih untung kami angkut “ Bentaknya macam seorang geladak kapal, menggelegar
menyeramkan. Kami seperti bunga putri malu, menciut takut.
Naik
bus bimbar adalah satu – satunya alternatif untuk kami, anak – anak sekolah
yang berkantong cekak alias pas – pasan. Jika terlambat, jangan coba – coba meminta
duit tambahan dari orang tua. Karena bukan duit yang akan didapat.
“ Tidak ada duit tambahan. Makanya
siapa suruh terlambat bangun, dari jam 5 subuh tadi sudah ibu bangunkan kamu.
Anak gadis bangun siang, salat pun terlambat “ Aku meminta duit tambahan untuk
naik ojek , lima ribu rupiah saja. Aku hanya diam diomeli begitu, panas kupingku.
Pukul 06.35, kulihat dari jauh
sebuah bus bimbar lewat. Sial ia melengos saja, seorang tukang ojek
menertawaiku. Aku jengkel sekali. Aku harus menanti lagi. Lima menit kemudian datang
lagi sebuah bus bimbar, busnya penuh sesak. Kali ini aku yang jual mahal. Ketika
ditawari, aku menggeleng pelan. Aku yakin tidak akan ada tempat duduk untukku.
“ Oi dek, tidak ada lagi bus
dibelakang nanti kau terlambat “ Teriaknya kencang seiring music yang mengalun
di dalamnya, maka bus mereka persis seperti mobil orkes di kampung – kampung.
Aku hanya diam. Tukang ojek itu tertawa lagi. Aku curiga dengan tukang ojek
ini, jangan – jangan hobbynya adalah menertawai orang lain.
“ Udah dek, naik ojek saja “ Tawarnya
kemudian. Aku menggeleng.
Selang lima menit kemudian, bus
bimbar lewat lagi namun ternyata penuh sesak juga. Aku menimbang – nimbang
waktu sambil melirik jam tanganku lalu kuputuskan, aku harus naik walau dengan
terpaksa. Bismillah.
Ketika
masuk aku malah bingung mau duduk dimana, full
sudah. Satu – satunya tempat yang kosong adalah kursi di belakang sopir, persis
menghadap penumpang lainnya dengan artian posisiku terbalik. Rasanya mual. Aku cuma
berdoa semoga bus ini tidak melaju dengan kencang seperti yang sudah – sudah
kunaiki. Dan satu lagi semoga ada penumpang yang turun dengan segera jadi aku
tidak perlu berlama – lama duduk di sini, sungguh tidak nyaman.
Aku
ingat pertama kali naik bus bimbar , wajahku pucat dan muntah sejadi – jadinya.
Teman kelasku yang kebetulan satu angkutan dan duduk di sampingku malah tertawa
terbahak – bahak. Kurang ajar betul, bukannya menolong malah menertawaiku. Dia
bilang itu adalah sebuah adaptasi, selanjutnya aku akan terbiasa. Namun
ternyata, itu menjadi sebuah kebiasaan selama hampir tiga bulan lamanya. Selama
itu, aku harus membawa kantong plastik dan minyak angin. Aku mengeluh pada ibuku
tentang hal ini namun malah mendapat omelan panjang darinya.
“
Sekolah itu harus ada perjuangan, kamu lihat anak – anak di pulau sana,
fasilitas mereka terbatas tapi tetap mau sekolah. Mau kamu sekolah di pulau,
tinggal di sana jadi tidak usah naik mobil cukup jalan kaki saja “ Omelan ibuku
tentang hal ini cukup jadi pelajaran buatku, menjadi kisah klasik untuk masa
depan. Lalu ibuku bercerita tentang masa kecilnya dulu, ketika beliau bersekolah di
pulau selat panjang. Jika aku mengeluh lagi alamatlah keluar omelan panjangnya
lagi tentang perjuangan zaman dulu. Aku serasa jadi R.A. Kartini.
Sialnya
aku malah naik bus yang melaju dengan kencang, seperti roller coaster. Aku
banyak – banyak beristigfar. Aku heran setiap kali naik bus bimbar, kenapa
selalu mengebut ?, seperti suatu hal yang lumrah – suatu kebiasaan. Padahal para
penumpang banyak yang mengeluh akan hal ini namun mereka seolah - olah tak
mendengar – tutup telinga dan bebal. Bahkan tak jarang para sopir itu membentak
balik penumpangnya. Sombong nian.
Yang
lebih mengherankan, aku tak pernah melihat polisi mencegat bus ini karena kebut
– kebutan. Seolah acuh saja. Atau mereka memang tak melihat?.Aih, sudahlah tak
usah kita perdebatkan hal ini, pusing aku memikirkannya.
Syukurlah,
ketika di simpang duriangkang ada penumpang yang turun. Dengan segera aku
berpindah tempat. Aku duduk di samping seorang ibu, tubuhnya gemuk dan membawa
banyak barang belanjaan , sepertinya dari pasar pagi.
Tak
lama berselang, aku seperti mencium sesuatu aroma yang tak sedap. Ada aroma
amis, asam dan alamak bau ketek. Aku mencoba berdamai dengan hidung. Mungkin bau
itu berasal dari belanjaannya. Sabar.
Belum
selesai permasalan tentang aroma tak sedap, datang lagi aroma baru. Asap
rokok. Dipagi yang cerah ini, seorang
laki – laki muda dengan santainya merokok di dalam bus, angkutan umum ini.
Duduknya persis di belakangku, tentunya asap itu terbang melewati arahku dan
hidungku menangkapnya. Apa dia pikir ini angkutan pribadi yang oksigennya cuma
dia yang boleh menghisap? Apa dia tak pernah melihat di televisi tentang
pergerakan anti merokok di dalam angkutan umum ? Aku pura – pura batuk berharap
laki –laki itu mengerti.
Tiba
– tiba seorang ibu muda yang duduknya berseberangan dengan si lelaki, langsung memarahinya.
“
Eh, kamu nggak punya otak ya. Saya ini sedang hamil. Asap rokok kamu mengganggu
pernapasan saya. Apa kamu nggak bisa baca tulisan itu. Apa kamu pikir, udara di
dalam bus ini punya nenek moyang kamu seorang, hah?” Ibu muda itu naik pitam,
kulihat di sudut matanya ada bulir bening yang ditahannya. Pria itu masygul dan
langsung mematikan rokoknya. Eh, Ibu di sampingku bergerak – gerak, aih dia
tertidur.
“
Ongkos – ongkosnya pak, buk “ Teriak sang kernet di dalam bus, seolah – olah
kami berada jauh darinya. Entah kenapa tiba – tiba sopirnya memutar music
kencang dan sungguh memekakkan telinga. Lagu yang diputarnya Ayu Ting Ting pula,
Kemana kemana kemana. Seoalah lagu itu mewakili jerit hatinya kepada para
penumpang.
Satu
persatu penumpang memberikan ongkosnya sesuai tarif. Sang kernet bersiul –
siul. Ia pun menagih pada seorang ibu yang duduknya di samping pak sopir yang
sedang mengendarai mobilnya (Iya iyalah ^_^).
“
Ongkosnya buk “
“
Sudah tadi sewaktu di Jodoh “ Suaranya masih lembut.
“
Belum ibu, kapan?”
“
Sudah, tadi pas di Jodoh “ Suaranya sedang.
“
Belum “ Ujar Kernet itu lagi, ia seolah menantang bahaya.
“
Kubilang sudah, berarti sudah. Tak percaya kau “ Kali ini suara ibu itu
meninggi. Alamak.
“
Jangan begitu bu,… “ Sopir coba menengahi.
“
Bah, kau mau membela si pikun ini. Aku sudah bayar tadi di Jodoh, kalian yang
bodoh “ Ibu itu mengeluarkan sumpah serapahnya.
“
Sudah bu, sudah bu. Kalau sudah bayar ya sudah tidak perlu marah – marah masih
pagi ini, nanti kami sial pula “ Sang sopir memelas.
“
Kau mau bilang aku yang bawa sial, hah “ Ibu itu naik pitam. Aku berisigfar
lagi, ibu di sampingku masih tertidur pulas, dia tak tahu ada perang di dalam
bus. Sopir itu akhirnya diam saja dan hanya melotot ke arah kernet melalui
spion. Sang kernet terkikik – kikik. Kemudian mereka saling diam, tak tahu perang
itu sudah selesai atau belum yang jelas hanya suara Ayu ting ting yang mengudara
di dalam bus. Dimana dimana dimana.
Sang
kernet menagih ongkos pada penumpang lainnya. Ia menagih pada seorang anak SD
yang duduk paling depan.
“
Ongkosnya dek “ Lalu adik itu menyerahkan duit seling – lima ratusan atau biasa
disebut gopek. Sang kernet melotot dan adik itu acuh saja seolah tak mendengar
omelan sang kernet.
“
Hadewh, gopek lagi. Tak jajan ya kau dek “
Aku
pura – pura tak melihat sang kernet, pandanganku lurus ke samping. Niatku agar
sang kernet tak menagihku dulu dan akan ku berikan ongkos nanti ketika hampir
sampai di gerbang sekolah. Tahukah kawan, taktikku nanti lebih elegan dari pada
si adik SD.
Aku
melirik jam lalu mendesah panjang, maklum jam di tangan sudah menunjukkan detik
– detik menuju pukul 07.12, itu artinya aku hanya punya waktu kurang lebih 3
menit sebelum pagar di tutup. Hasrat ingin berlari pun menggebu.
Gerbang
sekolah sudah kelihatan dan aku bersiap – siap untuk turun. Aku menyiapkan
ongkos ditangan sambil mengatur langkah cepat. Aku pasang ancang – ancang, duitnya
aku lipat menjadi kecil – kecil gunanya agar sang kernet lama membukanya dan
ketika itu aku sudah pergi jadi pastilah ia belum sempat mengeluarkan sumpah
serapahnya.
“
Kiri “ Teriakku lalu menyodorkan duit lipatan. Aku melompat keluar. Sial sang
kernet menyadari taktikku.
“Eh,
pasti kau kasih cuma seribu neh. Kurang ongkosnya dek “ Teriaknya memekakkan
telinga.
“
Oi, anak sekolah nggak tau diri. Ongkos kurang terus, kurang ajar kalian “
Seperti ada sambungan kereta api, dia berteriak lagi. Aku melongos pergi. Aih,
sudah jauh pun dia masih berteriak – teriak.
Aku
berlari – lari menuju sekolah. Napasku rasanya tersengal – sengal. Sedikit lagi
sampai. Aku pun memelankan lariku berusaha menarik napas. Kulihat jam
dipergelangan tangan, alamak sudah terlambat. Aku ingin berusaha lari lagi tapi
percuma, energiku sepertinya telah habis.
Tiba
– tiba aku melihat seorang guru yang amat kukenal kedisiplinannya, berdiri di
depan pagar. Bapak ini adalah guru Agama Islam. Aih, aku lupa kalau hari ini
adalah jadwalnya piket. Tamatlah riwayatku.
“Eh,
kamu yang di sana. Sudah telat masih melenggak – lenggok saja, cepat lari kamu
“Aku berlari lagi.
Ternyata
di dalam ada beberapa anak yang terlambat. Jumlahnya sepuluh. Perempuan hanya ada
dua, aku dan satu lagi sepertinya adik kelasku. Aku berbaris rapi. Layaknya ikut
paskibra, kami disuruh berbaris – baris menuju lapangan tempat dimana eksekusi
akan dimulai. Dan sang algojo sudah menunggu.
“
Cepat kalian “ Teriak bapak itu dari tengah lapangan. Aku ketar – ketir. Kami
diminta untuk mendaftarkan diri di meja piket sebelum menuju tempat eksekusi. Kutuliskan
namaku dengan amat pelan, Indah.
“
Sekarang kalian lari jongkok lima putaran lapangan ini “
Lima
putaran, teriakku dalam hati. Bisa – bisa aku semaput di tengah jalan. Aku
mengeluh dengan sesama rekan yang terlambat.
“
Gila apa bapak ini “ Bisikku pada satu – satunya cewek yang ada di sampingku.
Dia tidak merespon dan hanya memandangiku
ngeri. Seakan – akan aku ini makhluk dari negeri antah berantah.
“
Cepat. Mulai “
Putaran
pertama berlalu dengan sukses. Aku mulai semaput. Putaran kedua, semaputku mulai
meninggi. Keringat bercucuran membasahi punggung dan jidatku, rasanya baju dan
jilbabku mulai basah. Kupandangi satu persatu rekan terlambatku, mereka semua
menahan sesak, seperti menahan sesak ingin buang air besar. Naas.
Putaran
ketiga, aku mulai tak tahan. Napasku tersengal – sengal, perutku berteriak –
teriak. Aku teringat sarapan nasi goreng yang tersedia di atas meja, tak sempat
kusentuh. Aku hanya menyeruput teh hangat saja. Aku mengeluh lagi, kenapa tak
jadi kumakan nasi goreng tadi, toh terlambat juga. Sebentar – bentar aku
berhenti mengatur napas. Semaputku sudah sampai tahap akhir. Terbayang – bayang
olehku nasi goreng buatan ibuku yang pasti lezat. Aku melahapnya habis. Tiba –
tiba semua bayangan mengabur, putih berkabut.