Laman

Minggu, 22 April 2012

SEPENGGAL CERITA UTS


    
            Hi, Long time no see my blog. Lama sekali rasanya saya tidak melihat blog saya ini. It's Ok. Huuuu...Maklum saja akhir – akhir ini saya sedikit sibuk *alasan klise*, alih – alih menulis blog malah tertidur. Seminggu terakhir ini saya baru menyelesaikan ujian tengah semester (UTS) yang membuat kepala cekat cekot. Bagaimana tidak UTS kali ini agak sedikit berbeda dari UTS sebelumnya karena ada cerita absurd di dalamnya (minimal menurut saya lah) dalam beberapa subject yang diujiankan.
            Hari pertama ujian, dengan penuh semangat memakai pakaian hitam putih dibalut almamater, siap untuk bertempur. Ini hal absurd yang pernah saya lakukan karena selama ini almamater hanya tergantung dalam lemari dan akan dikeluarkan ketika ujian saja.
            Well, subject ini berada di jam kedua. Namanya Teaching English as a foreign language. Membacanya saja yakinlah akan membuat bibir anda sedikit monyong apalagi membaca isinya. Ujian ini Open Book,  terdiri dari 10 butir soal saja namun jawabannya hampir seisi buku. Selama dua jam saya harus teliti membaca bahasanya Pangeran William itu. Finally, I can finished my exam setelah mata ini lelah berputar – putar seiring lidah yang mulai kribo. Ketika berdiri, tiba – tiba tepuk tangan bergemuruh di dalam kelas, usut punya usut ternyata saya adalah orang pertama yang mengumpulkan kertas jawaban *Ajaib*. Ingin rasanya saya melambaikan tangan ala putri Kate Middleton. Ini keren sekali.
            Hari kedua, subject ini juga berada di jam kedua. Speaking 4 dengan ujiannya adalah public speaking. Kita memilih topic yang akan disampaikan ke khalayak ramai, mulai dari pidato calon presiden, calon gubernur sampai calon ketua RT. Ada juga yang memilih topic berjualan atau ada yang memberikan penyuluhan tentang kesehatan, hanya dalam waktu 2 menit. Waktu yang singkat membuat kami harus bisa  memberikan isi tepat sasaran. Jika lewat dari 2 menit, maka kami harus segera siap dihentikan walaupun orasi kami belum selesai. Saya, memilih topic pencalonan presiden dengan nomor coblos 3 sesuai angka urutan dalam anggota keluarga. Karena hanya 2 menit maka pidato saya isinya hanya seperti ini “
Good Morning, Ladies & Gentlemen
            Thanks for this opportunity. My name is Indah Maya Sari. I am as a president candidates number 3. I do not give you any promises but I'll show you the real action. I am ready to deduct my half salary every month during as a president for destroy the poorness. I think that's all for today, it's simple but trust me it works. Choose me number 3.
Thank you.
*Lalu ada hening panjang – mereka tak percaya ada calon president Indonesia seperti ini *
            Hari ketiga, ini adalah subject yang lumayan membuat lidah anda keriting. Introduction to Linguistic. Anda harus bisa melafalkan kata demi kata dengan tepat dan benar. Seminggu sebelum ujian, dosen kami yang baik hati ini memberikan kisi – kisi soal sebanyak 5 butir. Kami, seisi kelas – terutama saya percaya saja bahwa soal tidak akan jauh beda dengan kisi – kisi tersebut. Saya  dengan bersusah payah mengingat – ingat jawaban. Ujian pun dimulai. Saya terkesima dan melotot melihat soal ujian yang berbeda jauh sekali. Ternyata seisi kelas pun merasa yang sama dengan saya. Lalu gelombang protes bergemuruh.
            “ Pak, kenapa soal berbeda dengan kisi – kisinya “ Seisi kelas ribut, dengan santai bapak itu menjawab yang sekaligus membuat kami malu untuk kembali protes.
            “ Oh iya dong, kalau soal sama persis dengan kisi – kisi buat apa kita ujian. Kan saya buat kira – kira seputar itu “ Lalu ada jeda panjang.
            Pak dosen memberikan 5 butir soal. 3 diantaranya mampu diisi dengan susah payah. Berpikir keras hingga mentok. Maka 2 diantaranya tertutup awan gelap tak bisa saya mengingat. Akhirnya keluarlah ilmu pepatah “Malu bertanya sesat di jalan”. 2 soal tersebut sukses di jawab dengan bertanya pada orang yang tepat maka saya tak akan tersesat. *Mahasiswa labil*
            Hari keempat, subjectnya Language Testing. Disini kami diminta untuk membuat 10 pertanyaan dan jawaban dari teks yang tersedia. Jika anda salah penulisan kata atau tertinggal satu huruf maka jawaban anda langsung disalahkan. Ujian ini lebih sulit dari ujian biasanya. Dilarang mencontek karena tentu saja pertanyaan dan jawaban kita saling berbeda. Di jam kedua subjectnya adalah Writing 4, Open book dengan 5 butir soal. Pak dosen berkata “ Bukalah apa yang bisa kalian buka”. *Jleb*
            Akhirnya selesai juga UTS kali ini. Kita akan bertemu lagi pada UTS berikutnya.

Salam Cekat cekot
Indah
           

Minggu, 01 April 2012

Cerpen _ GADIS DI RUANG TUNGGU

Aku mengeluh sakit kepala lagi. Sudah hampir satu minggu ini kepalaku pusing, mual dan terasa oleng. Kadang rasa pusing itu tak tertahankan disertai dengan muntah, jika muntah keluarlah semua isi perutku. Bahkan di tempat kerja pun pening dan oleng ini menghinggapi kepalaku. Ketika duduk tubuhku rasanya berputar – putar, dunia ini terasa terbalik, begitu pun pada saat berdiri. Aih, sesampainya di rumah aku pasti mengeluh pada ibuku.  

Karena sudah tak tertahankan, kuputuskan hari itu  berobat ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku. Aku meminta izin untuk tidak masuk kerja. Sejujurnya aku paling malas jika harus ke rumah sakit, menunggu lama untuk bertemu dengan dokter  dan tentu saja yang terakhir  minum obat, ujung – ujungnya.  

Aku mengambil nomor dan mengantri. Semakin lama sakit kepalaku ini tak tertahankan, oleng dan berputar – putar. Novel yang kubawa dari rumah yang hendak kubaca pada saat antrian ini masih tersimpan rapi di dalam tas. Tak sempat kubuka. Kepalaku berdenyut – denyut.  Aku tak merasa nyaman ketika duduk, berputar sana berputar sini. Jika tak tertahankan kubaringkan kepalaku di kursi antrian. Seorang ibu memperhatikan tingkahku, ketika aku menoleh ke arahnya, ia langsung berputar arah. Ah, peduli amat. Kepalaku pening. 

Lama sekali antrian ini kurasakan, kulirik nomor antrianku - 115. Aih, lama betul. Menyesal sekali aku datang agak kesiangan padahal masih jam 8.00 WIB, aku sampai di rumah sakit ini - masih pagi bukan. Ternyata 1 menit pun berlalu maka puluhan nomor terlewati. Pantas saja aku sering melihat orang – orang senang mengantri dari pukul 06.00 pagi, agar mereka mendapatkan nomor lebih awal.  

Datang lebih awal, lama menanti dokter. Datang agak siang, semakin lama – semakin lamalah bertemu dengan dokter. Sebuah dilema besar. Ternyata itu juga penyebabnya, tadi pagi ibuku mengomel, menyuruhku cepat datang ke rumah sakit padahal jam masih menunjukkan pukul 05. 30 WIB. Masih pagi – pagi buta lagi. 
Ah, aku curiga jangan – jangan negeriku ini banyak sekali orang yang penyakitan. Ini harus kutanyakan pada menteri kesehatan. 

Aku mengeluh lagi. Tak lama kemudian, duduklah seorang ibu disampingku. Awalnya aku tak merasa curiga, aku masih saja menahan rasa sakit kepalaku. Selang beberapa menit, ia mengangkat kaki ke atas paha dan  memeganginya. Aku terpana melihat kakinya, aku menahan napas. Kakinya – maaf – penuh dengan sebangsa kutu air, borok dan entah apa lagi serta bau sekali. Tak sengaja aku mencium bau dari kaki ibu itu, baunya menusuk – nusuk hidungku. Aku tak bisa menjelaskan perpaduan dari bau itu, sungguh menjengkelkan ketika kepalaku sedang pening, rasanya pening ini menjadi - jadi.  

Aku pun mencari – cari udara. Kulihat seseorang yang duduk disisi kanan dari ibu itu sedang menutup hidungnya, mungkin ia juga mencium bau yang sama. Aku melihat disekelilingku, kursi tunggu sudah penuh. Jika aku memutuskan pindah, alamatlah tidak ada tempat duduk untukku. Jika aku memutuskan berdiri di tempat lain, itu lebih tidak masuk akal lagi. Duduk saja tubuhku bisa oleng, apalagi berdiri bisa – bisa aku pun akan terjatuh. 

Aku hanya bisa menahan napas, kepalaku terus berdenyut. Peningnya minta ampun. Aku terus beristigfar berulang kali di dalam hati. Astagfirullah yah. Lama sekali nomor antrianku dipanggil, rasanya kiamat akan datang saking lamanya. Belum lagi bau dari kaki ibu itu terus menerorku. Air mataku pun keluar tak tertahankan, aku mual.  

Rasa pening dan mual bersatu, mereka bersekongkol menyerangku. Segera saja aku memutuskan untuk ke toilet, sepertinya isi perutku ingin keluar dari sarangnya. Aku berlari terbirit – birit, menahan mual dan pening agar mereka bersabar dan menuruti perintah tuannya tapi ternyata mereka membangkang, mereka menerjangku lalu mengaduk – aduk isi perutku. Kurang ajar betul. 

Aku pun muntah. Kepalaku pening minta ampun. Aku berusaha menahan keseimbangan tubuhku sambil memegangi dinding kamar mandi. Aku mengusap – usap perut dan leherku dengan minyak angin. Aku menyesal kenapa tidak mengajak ibuku ikut serta. Setelah agak mendingan, aku pun keluar dari kamar mandi dan dengan terpaksa kembali ke tempat dudukku. Hanya beberapa langkah lagi  menuju tempat dudukku, dengan pandangan nanar kulihat kursiku sudah ada yang menduduki tentunya dengan menutup hidungnya. Aku menyumpah lagi. Sial. Dengan terpaksa aku berdiri dan bersandar ke dinding, aku nelangsa. Kutelan bulat – bulat kejengkelanku. Aku berdoa semoga dunia tak berputar ketika aku lama berdiri. 

Kulihat seisi rumah sakit ini. Rumah sakit ini terdiri dari dua lantai. Untuk ukuran sebuah rumah sakit, rasanya ruangan ini kecil sekali dibandingkan dengan rumah sakit yang pernah aku datangi di daerah Sekupang. Di lantai satu, tempat duduknya sedikit, memanjang dari ruang loket sampai mendekati toilet dan sebagian lagi berada di depan tiap – tiap ruang praktek dokter . Ruangan praktek dokter hanya terdiri dari 5 ruang, dokter umum, dokter ahli kandungan, ruang bedah, laboratorium dan dokter gigi. Di seberangnya, ada ruangan untuk mengambil obat – obatan dan disampingnya adalah loket untuk pendaftaran. Untuk lantai dua aku tak tahu, tidak sempat aku naik ke sana.  

Aku pernah melihat sebuah rumah sakit besar , Rumah Sakit Peniti namanya. Jangan tanyakan aku kenapa dinamakan demikian. Letaknya di tengah kota, antara Batu aji menuju Nagoya. Besar sekali persis kamar hotel dan banyak jendelanya. Konon katanya rumah sakit itu khusus hanya untuk orang - orang kaya karena biayanya yang mahal, entahlah aku pun tak tahu.  

Sedangkan aku, hanya berobat di tempat dimana kartu berobatku diberikan perusahaan, kartu berobat khusus untuk perusahaan yang bekerja sama dengan sebuah jaminan sosial tenaga kerja. Biaya berobat ditanggung oleh perusahaan setelah melakukan pemotongan gaji setiap bulannya. Itu sangat bermanfaat ketika kita sakit, terutama disaat bulan tua - kala kantong mulai menipis.  

Jikalau tidak punya kartu berobat, biasanya aku pergi ke sebuah puskesmas yang biaya berobatnya gratis namun letaknya sungguh jauh dari peradaban kota Batam. Ibuku mengatakan bahwa tempatnya itu berada di ujung kulon atau tempat jin buang anak.  

Tak hanya aku, begitupun untuk orang - orang yang tak punya anggaran khusus berobat, puskesmas adalah tempat yang paling baik. Miris. Benarlah kata pepatah, sakit itu mahal. Jadi, jangan mau sakit kecuali terpaksa. Kalian tanyakan saja pada sang presiden. 

Karena telah cukup lama aku menunggu. Aku berusaha mengajak ngobrol  seorang bapak yang sedang duduk disampingku. 

“ Nomor berapa pak? ” 

“ Nomor 200 dek, yang terakhir “ Ujarnya meringis kesakitan, entah sakit apa. Aku terpana, antrian yang ke 200. Mau sampai jam berapa bapak ini menahan sakit dan menunggu obat. Aih, tak terbayangkan  olehku. 

“ Menyesal bapak datang terlambat “ Ujar bapak itu memegangi sesuatu. OMG!! Dia memegangi – maaf – pantatnya. Aku mengalihkan pandangan, melihat ke arah lain. Sayangnya sejauh mata memandang, aku hanya melihat orang – orang menahan sakit. Ya iyalah namanya saja rumah sakit. 

“ Saya sudah dari tadi menuggu, belum juga bertemu dokter. Ternyata dokternya datang pukul 09.00 WIB tadi “ Seorang Ibu menimpali dan menggeleng heran. Aku pun heran. Pantas lama sekali.  

Aku tak tahu bagaimana sistem berobat di luar negeri karena aku tak pernah berobat ke sana. Namun, yang kutahu orang – orang Indonesia khususnya orang berduit, senang berobat ke sana ketimbang di negeri sendiri. Ironis. Ini juga harus ditanyakan pada presiden tercinta. 

Akhirnya nomor antrianku pun dipanggil. “ Nomor 115 “. Aku bergegas ke loket untuk mendaftarkan diri, seperti takut ketinggalan pesawat. Eh, ini rumah sakit kan?

 “ Udah pernah berobat di sini, mbak?”

“ Belum pernah mbak, ini pertama kalinya “

“ Tolong beri tahu nama dan umurnya “

“ Indah Maya Sari, 23 tahun “ Setelah itu dia mendataku dari kartu yang ada, karena penasaran aku mengintip kira – kira apa yang ditulisnya. Sayangnya semua tulisannya rata, tak satu kata pun yang aku mengerti dari tulisannya.  

“Sudah selesai, silahkan menunggu proses selanjutnya “ Ujarnya lagi dan bersiap – siap melayani pasien lainnya. Lalu aku harus kembali menanti di ruang dokter umum, kembali menunggu. Menyebalkan.

Satu persatu pasien dipanggil berdasarkan urutan nomor. Ternyata aku harus melewati pemeriksaan dari seorang suster sebelum bertemu dengan dokter. Aku duduk disamping seorang ibu yang menggendong anaknya yang sedang sakit. Aku tersenyum padanya.

“ Ibu, sakit apa anaknya? “ Sapaku dengan ramah. 

“ Cacar. Dari tadi saya menunggu dokter sampai bosan rasanya menunggu “ Kemudian ibu itu mengomel terus. Kemarahan dan tangisan anaknya membuat kepalaku pening kembali.

Setelah lama menunggu, akhirnya tiba juga giliranku dipanggil, aku diperiksa oleh sang suster. Dia mengecek tensi darah dan berat badanku. Kemudian suster itu mengecek mataku. Lalu ia menulis sesuatu di sebuah kertas pemeriksaan, lagi – lagi aku tak mengerti tulisannya. Kali ini tidak rata melainkan naik turun.

“ Sus, saya bisa ketemu dokternya kan?”  

“ Tentu saja, anda silahkan menunggu dipanggil untuk bertemu dokternya “ Jawabnya dengan ketus, lalu berusaha memanggil pasien yang lain. Alamak, kenapa dia harus ketus menjawabnya?. Apa dia mimpi buruk semalam.? Dengan perasaan dongkol aku berlalu dari hadapannya. Suster ini cantik tapi ketusnya minta ampun. Kepalaku kembali berdenyut. Pusing kepalaku memikirkan orang – orang di negaraku ini. 

Aku kembali menunggu untuk bertemu dokternya. Sengaja aku mencari tempat persis di depan ruang praktek dokter umum agar kedengaran kala dipanggil. Aku tak lagi peduli soal jam. Pening dikepalaku rasanya sudah diubun – ubun, siap memuntahkan lahar panasnya. Aku berusaha sabar. Serasa sedang mengikuti sebuah audisi pencarian bakat. Aku gelisah. 

“ Indah maya sari “ Panggil seorang suster. Itu artinya giliranku untuk bertemu dokter. Aku seakan ingin melambaikan tanganku pada yang lain. Maaf saya duluan yah. 

Masuk ke dalam ruangan dokter umum, awalnya aku merasa takut. Lalu aku terpana dan terdiam sejenak. Kulihat seorang dokter muda, tampan nan rupawan dan ketika ia berdiri tubuhnya tinggi atletis. Seketika itu aku berdoa, “Ya Allah semoga jodohku adalah dokter tampan nan rupawan seperti dokter ini”. Inilah naluri seorang jomblo sepanjang masa, setiap bertemu dengan seseorang yang pintar dan tampan selalu memiliki doa yang sama, nyaris selalu sama. Maka pada waktunya tiba nanti, akulah yang akan bingung memilih.

“ Silahkan masuk mbak, sakit apa ya?” Ujar sang dokter nan rupawan itu kepadaku. Ketika ditanya sakit apa, ingin rasanya aku menjawab tidak sedang sakit. Aku malu jika harus mengatakan aku sedang sakit, gadis macam apa ini – penyakitan. Namun sayang tubuh dan otakku, muara dari sakit ini tak bisa diajak berkompromi. Dia menginjak – injak kepalaku, peningnya. 

“ Anu..dok. Err.. sakit kepala. Pening disertai mual dan terkadang perasaan jungkir balik, dunia terasa berputar – putar , bahkan pernah terjatuh juga “ Dengan terpaksa dan sangat terpaksa, aku menjelaskan pada dokter tampan tersebut. Ia kemudian mengecek di kertas pemeriksaan kesehatanku.  

“ Tensi darah kamu hanya 80/70. Untuk ukuran orang dewasa itu sangat rendah. Gejala yang kamu alami itu disebabkan oleh tensi darah yang rendah. Bahkan kamu sudah masuk dalam tahap kekurangan nutrisi otak “ 

“ Kekurangan nutrisi otak itu maksudnya apa ya, dok. Saya merasa saya sudah banyak makan kok, dok “

“ Kekurangan nutrisi otak berarti otak kamu sedang membutuhkan asupan nutrisi tinggi untuk otak kamu. 

Banyak makan belum tentu itu semua bergizi terutama untuk otak kamu “ Kata – kata dokter ini tak sampai ke otakku, cuma terasa menusuk – nusuk saja. Dia menyebut “otak kamu” entah sudah berapa kali. Otak Kamu.   

Lalu entah kenapa otakku mulai bereaksi, “Cepat cancel doamu” katanya lalu ia sembunyi lagi.  Seketika itu aku bergumam dalam hati, Tuhan maafkan aku, kutarik kembali doaku yang tadi. Tak terbayangkan olehku jika aku berjodoh dengannya dan suatu hari dia akan mengungkit masalah kekurangan nutrisi otak ini.

“ Ibu kamu dulu kekurangan nutrisi otak jadi maklum saja jika ibumu tidak bisa menjawab soal matematika ini “  
Atau lain waktu dia bilang begini, “ Beri anak kita asupan yang bergizi serta makanan yang mengandung nutrisi tinggi karena itu baik untuk perkembangan otaknya. Jangan sampai anak kita kekurangan nutrisi otak seperti kamu dulu. “ 
Aih, aku merinding.

“ Mulai sekarang atur pola makan, jangan sampai terlambat makan. Usahakan makan tepat waktu. Biasakan pilih makanan yang memiliki gizi tinggi. Kalau perlu beli vitamin penambah darah yang dijual di apotik. Banyak minum susu. Banyak makan buah yang berwarna merah, seperti apel atau strawberry “ Dokter ini menasehatiku panjang lebar bak seorang presiden yang memberikan penyuluhan tentang kesehatan kepada rakyat miskinnya. Reflek aku mengetuk – ngetuk kepalaku, seolah mencari dimana letak posisi otakku saat ini.  

“ Perlu kamu ketahui, salah satu gejala orang yang kekurangan nutrisi otak adalah pelupa. Jika kamu tak segera memperbaiki nutrisi otak kamu maka kamu akan sering lupa bahkan untuk hal – hal kecil sekalipun. “ Sambungnya lagi. Otak Kamu. Kepalaku berdenyut. 

“ Baiklah itu saja. Nanti ambil obatnya dan makan yang teratur. Jika masih mengalami gejala yang sama segera ke dokter lagi “ Ujarnya. Aku mengangguk pelan dan ingin segera berlalu. Semoga saja otakku cepat pulih setelah diberi wejangan. 

Untunglah tak perlu waktu lama untuk mendapatkan obat. Setelah itu, segera aku keluar dari rumah sakit ini. Aku menarik napas lega seakan terbebas dari ruangan yang sesak, aneh rasanya peningku ini hilang. 

Ah, sudah siang rupanya, batinku. Sepertinya cacing – cacing dalam perutku berteriak – teriak. Lapar. Kulihat di seberang rumah sakit ini, ada rumah makan yang murah, aku segera mampir. 

“ Pesan nasi pake ayam bumbu “ 

Kemudian pesananku pun datang. Dengan riang gembira aku melahapnya, satu sendok -  dua sendok. Tiba – tiba aku terpikir untuk makan sambil membaca novel. Aku pun memeriksa ke dalam tasku, alamak sepertinya aku terlupa sesuatu. Dompet.  

Aku tercekat, dengan panik ku aduk – aduk tasku. Nihil. Rasanya nasi yang kumakan tadi masih menyangkut dileher. Aku pucat pasi. Sialnya Handphone pun tertinggal, aku berusaha mengingat – ingat sebuah nomor yang bisa dihubungi. Gagal. Yang terbayang malah wajah sang dokter yang sedang berceramah. Lalu seorang pelayan pun datang. 

 “ Ada apa mbak. Mau pesan air lagi, teh atau es jeruk mungkin “ 

“ Anu, saya ada masalah “ Aku seperti habis menelan biji duku. Pahit. 

“ Iya masalah apa mbak, kasih tau saja siapa tahu bisa kami bantu “ 

“ Dompet saya ketinggalan “  

Kemudian suasana pun hening.


Batam, 11.11.2011