Aku
mengeluh sakit kepala lagi. Sudah hampir satu minggu ini kepalaku pusing, mual
dan terasa oleng. Kadang rasa pusing itu tak tertahankan disertai dengan
muntah, jika muntah keluarlah semua isi perutku. Bahkan di tempat kerja pun pening
dan oleng ini menghinggapi kepalaku. Ketika duduk tubuhku rasanya berputar –
putar, dunia ini terasa terbalik, begitu pun pada saat berdiri. Aih,
sesampainya di rumah aku pasti mengeluh pada ibuku.
Karena
sudah tak tertahankan, kuputuskan hari itu
berobat ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanku. Aku meminta izin
untuk tidak masuk kerja. Sejujurnya aku paling malas jika harus ke rumah sakit,
menunggu lama untuk bertemu dengan dokter
dan tentu saja yang terakhir
minum obat, ujung – ujungnya.
Aku
mengambil nomor dan mengantri. Semakin lama sakit kepalaku ini tak tertahankan,
oleng dan berputar – putar. Novel yang kubawa dari rumah yang hendak kubaca
pada saat antrian ini masih tersimpan rapi di dalam tas. Tak sempat kubuka.
Kepalaku berdenyut – denyut. Aku tak
merasa nyaman ketika duduk, berputar sana berputar sini. Jika tak tertahankan
kubaringkan kepalaku di kursi antrian. Seorang ibu memperhatikan tingkahku,
ketika aku menoleh ke arahnya, ia langsung berputar arah. Ah, peduli amat.
Kepalaku pening.
Lama
sekali antrian ini kurasakan, kulirik nomor antrianku - 115. Aih, lama betul.
Menyesal sekali aku datang agak kesiangan padahal masih jam 8.00 WIB, aku
sampai di rumah sakit ini - masih pagi bukan. Ternyata 1 menit pun berlalu maka
puluhan nomor terlewati. Pantas saja aku sering melihat orang – orang senang
mengantri dari pukul 06.00 pagi, agar mereka mendapatkan nomor lebih awal.
Datang
lebih awal, lama menanti dokter. Datang agak siang, semakin lama – semakin
lamalah bertemu dengan dokter. Sebuah dilema besar. Ternyata itu juga
penyebabnya, tadi pagi ibuku mengomel, menyuruhku cepat datang ke rumah sakit
padahal jam masih menunjukkan pukul 05. 30 WIB. Masih pagi – pagi buta lagi.
Ah, aku curiga jangan – jangan negeriku ini banyak sekali orang yang
penyakitan. Ini harus kutanyakan pada menteri kesehatan.
Aku
mengeluh lagi. Tak lama kemudian, duduklah seorang ibu disampingku. Awalnya aku
tak merasa curiga, aku masih saja menahan rasa sakit kepalaku. Selang beberapa
menit, ia mengangkat kaki ke atas paha dan
memeganginya. Aku terpana melihat kakinya, aku menahan napas. Kakinya –
maaf – penuh dengan sebangsa kutu air, borok dan entah apa lagi serta bau
sekali. Tak sengaja aku mencium bau dari kaki ibu itu, baunya menusuk – nusuk
hidungku. Aku tak bisa menjelaskan perpaduan dari bau itu, sungguh
menjengkelkan ketika kepalaku sedang pening, rasanya pening ini menjadi - jadi.
Aku
pun mencari – cari udara. Kulihat seseorang yang duduk disisi kanan dari ibu
itu sedang menutup hidungnya, mungkin ia juga mencium bau yang sama. Aku
melihat disekelilingku, kursi tunggu sudah penuh. Jika aku memutuskan pindah,
alamatlah tidak ada tempat duduk untukku. Jika aku memutuskan berdiri di tempat
lain, itu lebih tidak masuk akal lagi. Duduk saja tubuhku bisa oleng, apalagi
berdiri bisa – bisa aku pun akan terjatuh.
Aku
hanya bisa menahan napas, kepalaku terus berdenyut. Peningnya minta ampun. Aku
terus beristigfar berulang kali di dalam hati. Astagfirullah yah. Lama sekali
nomor antrianku dipanggil, rasanya kiamat akan datang saking lamanya. Belum
lagi bau dari kaki ibu itu terus menerorku. Air mataku pun keluar tak
tertahankan, aku mual.
Rasa
pening dan mual bersatu, mereka bersekongkol menyerangku. Segera saja aku
memutuskan untuk ke toilet, sepertinya isi perutku ingin keluar dari sarangnya.
Aku berlari terbirit – birit, menahan mual dan pening agar mereka bersabar dan
menuruti perintah tuannya tapi ternyata mereka membangkang, mereka menerjangku
lalu mengaduk – aduk isi perutku. Kurang ajar betul.
Aku
pun muntah. Kepalaku pening minta ampun. Aku berusaha menahan keseimbangan
tubuhku sambil memegangi dinding kamar mandi. Aku mengusap – usap perut dan
leherku dengan minyak angin. Aku menyesal kenapa tidak mengajak ibuku ikut
serta. Setelah agak mendingan, aku pun keluar dari kamar mandi dan dengan
terpaksa kembali ke tempat dudukku. Hanya beberapa langkah lagi menuju tempat dudukku, dengan pandangan nanar
kulihat kursiku sudah ada yang menduduki tentunya dengan menutup hidungnya. Aku
menyumpah lagi. Sial. Dengan terpaksa aku berdiri dan bersandar ke dinding, aku
nelangsa. Kutelan bulat – bulat kejengkelanku. Aku berdoa semoga dunia tak
berputar ketika aku lama berdiri.
Kulihat
seisi rumah sakit ini. Rumah sakit ini terdiri dari dua lantai. Untuk ukuran
sebuah rumah sakit, rasanya ruangan ini kecil sekali dibandingkan dengan rumah
sakit yang pernah aku datangi di daerah Sekupang. Di lantai satu, tempat
duduknya sedikit, memanjang dari ruang loket sampai mendekati toilet dan
sebagian lagi berada di depan tiap – tiap ruang praktek dokter . Ruangan
praktek dokter hanya terdiri dari 5 ruang, dokter umum, dokter ahli kandungan,
ruang bedah, laboratorium dan dokter gigi. Di seberangnya, ada ruangan untuk
mengambil obat – obatan dan disampingnya adalah loket untuk pendaftaran. Untuk
lantai dua aku tak tahu, tidak sempat aku naik ke sana.
Aku
pernah melihat sebuah rumah sakit besar , Rumah Sakit Peniti namanya. Jangan
tanyakan aku kenapa dinamakan demikian. Letaknya di tengah kota, antara Batu
aji menuju Nagoya. Besar sekali persis kamar hotel dan banyak jendelanya. Konon
katanya rumah sakit itu khusus hanya untuk orang - orang kaya karena biayanya
yang mahal, entahlah aku pun tak tahu.
Sedangkan
aku, hanya berobat di tempat dimana kartu berobatku diberikan perusahaan, kartu
berobat khusus untuk perusahaan yang bekerja sama dengan sebuah jaminan sosial
tenaga kerja. Biaya berobat ditanggung oleh perusahaan setelah melakukan
pemotongan gaji setiap bulannya. Itu sangat bermanfaat ketika kita sakit,
terutama disaat bulan tua - kala kantong mulai menipis.
Jikalau
tidak punya kartu berobat, biasanya aku pergi ke sebuah puskesmas yang biaya
berobatnya gratis namun letaknya sungguh jauh dari peradaban kota Batam. Ibuku mengatakan bahwa tempatnya itu berada di ujung kulon atau tempat jin buang anak.
Tak
hanya aku, begitupun untuk orang - orang yang tak punya anggaran khusus
berobat, puskesmas adalah tempat yang paling baik. Miris. Benarlah kata
pepatah, sakit itu mahal. Jadi, jangan mau sakit kecuali terpaksa. Kalian
tanyakan saja pada sang presiden.
Karena
telah cukup lama aku menunggu. Aku berusaha mengajak ngobrol seorang bapak yang sedang duduk disampingku.
“
Nomor berapa pak? ”
“
Nomor 200 dek, yang terakhir “ Ujarnya meringis kesakitan, entah sakit apa. Aku
terpana, antrian yang ke 200. Mau sampai jam berapa bapak ini menahan sakit dan
menunggu obat. Aih, tak terbayangkan
olehku.
“
Menyesal bapak datang terlambat “ Ujar bapak itu memegangi sesuatu. OMG!! Dia
memegangi – maaf – pantatnya. Aku mengalihkan pandangan, melihat ke arah lain.
Sayangnya sejauh mata memandang, aku hanya melihat orang – orang menahan sakit.
Ya iyalah namanya saja rumah sakit.
“
Saya sudah dari tadi menuggu, belum juga bertemu dokter. Ternyata dokternya
datang pukul 09.00 WIB tadi “ Seorang Ibu menimpali dan menggeleng heran. Aku pun
heran. Pantas lama sekali.
Aku
tak tahu bagaimana sistem berobat di luar negeri karena aku tak pernah berobat
ke sana. Namun, yang kutahu orang – orang Indonesia khususnya orang berduit,
senang berobat ke sana ketimbang di negeri sendiri. Ironis. Ini juga harus
ditanyakan pada presiden tercinta.
Akhirnya
nomor antrianku pun dipanggil. “ Nomor 115 “. Aku bergegas ke loket untuk
mendaftarkan diri, seperti takut ketinggalan pesawat. Eh, ini rumah sakit kan?
“ Udah pernah berobat di sini,
mbak?”
“ Belum pernah mbak, ini pertama
kalinya “
“ Tolong beri tahu nama dan umurnya
“
“ Indah Maya Sari, 23 tahun “
Setelah itu dia mendataku dari kartu yang ada, karena penasaran aku mengintip
kira – kira apa yang ditulisnya. Sayangnya semua tulisannya rata, tak satu kata
pun yang aku mengerti dari tulisannya.
“Sudah
selesai, silahkan menunggu proses selanjutnya “ Ujarnya lagi dan bersiap – siap
melayani pasien lainnya. Lalu aku harus kembali menanti di ruang dokter umum,
kembali menunggu. Menyebalkan.
Satu persatu pasien dipanggil
berdasarkan urutan nomor. Ternyata aku harus melewati pemeriksaan dari seorang
suster sebelum bertemu dengan dokter. Aku duduk disamping seorang ibu yang
menggendong anaknya yang sedang sakit. Aku tersenyum padanya.
“ Ibu, sakit apa anaknya? “ Sapaku
dengan ramah.
“ Cacar. Dari tadi saya menunggu
dokter sampai bosan rasanya menunggu “ Kemudian ibu itu mengomel terus.
Kemarahan dan tangisan anaknya membuat kepalaku pening kembali.
Setelah lama menunggu, akhirnya tiba
juga giliranku dipanggil, aku diperiksa oleh sang suster. Dia mengecek tensi
darah dan berat badanku. Kemudian suster itu mengecek mataku. Lalu ia menulis
sesuatu di sebuah kertas pemeriksaan, lagi – lagi aku tak mengerti tulisannya.
Kali ini tidak rata melainkan naik turun.
“ Sus, saya bisa ketemu dokternya
kan?”
“ Tentu saja, anda silahkan menunggu
dipanggil untuk bertemu dokternya “ Jawabnya dengan ketus, lalu berusaha
memanggil pasien yang lain. Alamak, kenapa dia harus ketus menjawabnya?. Apa
dia mimpi buruk semalam.? Dengan perasaan dongkol aku berlalu dari hadapannya.
Suster ini cantik tapi ketusnya minta ampun. Kepalaku kembali berdenyut. Pusing
kepalaku memikirkan orang – orang di negaraku ini.
Aku kembali menunggu untuk bertemu
dokternya. Sengaja aku mencari tempat persis di depan ruang praktek dokter umum
agar kedengaran kala dipanggil. Aku tak lagi peduli soal jam. Pening dikepalaku
rasanya sudah diubun – ubun, siap memuntahkan lahar panasnya. Aku berusaha
sabar. Serasa sedang mengikuti sebuah audisi pencarian bakat. Aku gelisah.
“ Indah maya sari “ Panggil seorang
suster. Itu artinya giliranku untuk bertemu dokter. Aku seakan ingin
melambaikan tanganku pada yang lain. Maaf saya duluan yah.
Masuk ke dalam ruangan dokter umum,
awalnya aku merasa takut. Lalu aku terpana dan terdiam sejenak. Kulihat seorang
dokter muda, tampan nan rupawan dan ketika ia berdiri tubuhnya tinggi atletis.
Seketika itu aku berdoa, “Ya Allah semoga jodohku adalah dokter tampan nan rupawan
seperti dokter ini”. Inilah naluri seorang jomblo sepanjang masa, setiap
bertemu dengan seseorang yang pintar dan tampan selalu memiliki doa yang sama,
nyaris selalu sama. Maka pada waktunya tiba nanti, akulah yang akan bingung
memilih.
“ Silahkan masuk mbak, sakit apa
ya?” Ujar sang dokter nan rupawan itu kepadaku. Ketika ditanya sakit apa, ingin
rasanya aku menjawab tidak sedang sakit. Aku malu jika harus mengatakan aku
sedang sakit, gadis macam apa ini – penyakitan. Namun sayang tubuh dan otakku,
muara dari sakit ini tak bisa diajak berkompromi. Dia menginjak – injak
kepalaku, peningnya.
“ Anu..dok. Err.. sakit kepala.
Pening disertai mual dan terkadang perasaan jungkir balik, dunia terasa
berputar – putar , bahkan pernah terjatuh juga “ Dengan terpaksa dan sangat
terpaksa, aku menjelaskan pada dokter tampan tersebut. Ia kemudian mengecek di
kertas pemeriksaan kesehatanku.
“ Tensi darah kamu hanya 80/70.
Untuk ukuran orang dewasa itu sangat rendah. Gejala yang kamu alami itu
disebabkan oleh tensi darah yang rendah. Bahkan kamu sudah masuk dalam tahap
kekurangan nutrisi otak “
“ Kekurangan nutrisi otak itu
maksudnya apa ya, dok. Saya merasa saya sudah banyak makan kok, dok “
“ Kekurangan nutrisi otak berarti
otak kamu sedang membutuhkan asupan nutrisi tinggi untuk otak kamu.
Banyak
makan belum tentu itu semua bergizi terutama untuk otak kamu “ Kata – kata
dokter ini tak sampai ke otakku, cuma terasa menusuk – nusuk saja. Dia menyebut
“otak kamu” entah sudah berapa kali. Otak Kamu.
Lalu
entah kenapa otakku mulai bereaksi, “Cepat cancel doamu” katanya lalu ia
sembunyi lagi. Seketika itu aku bergumam
dalam hati, Tuhan maafkan aku, kutarik kembali doaku yang tadi. Tak
terbayangkan olehku jika aku berjodoh dengannya dan suatu hari dia akan mengungkit
masalah kekurangan nutrisi otak ini.
“ Ibu kamu dulu kekurangan nutrisi
otak jadi maklum saja jika ibumu tidak bisa menjawab soal matematika ini “
Atau lain waktu dia bilang begini, “
Beri anak kita asupan yang bergizi serta makanan yang mengandung nutrisi tinggi
karena itu baik untuk perkembangan otaknya. Jangan sampai anak kita kekurangan
nutrisi otak seperti kamu dulu. “
Aih, aku merinding.
“ Mulai sekarang atur pola makan,
jangan sampai terlambat makan. Usahakan makan tepat waktu. Biasakan pilih
makanan yang memiliki gizi tinggi. Kalau perlu beli vitamin penambah darah yang
dijual di apotik. Banyak minum susu. Banyak makan buah yang berwarna merah,
seperti apel atau strawberry “ Dokter ini menasehatiku panjang lebar bak
seorang presiden yang memberikan penyuluhan tentang kesehatan kepada rakyat
miskinnya. Reflek aku mengetuk – ngetuk kepalaku, seolah mencari dimana letak
posisi otakku saat ini.
“ Perlu kamu ketahui, salah satu
gejala orang yang kekurangan nutrisi otak adalah pelupa. Jika kamu tak segera
memperbaiki nutrisi otak kamu maka kamu akan sering lupa bahkan untuk hal – hal
kecil sekalipun. “ Sambungnya lagi. Otak Kamu. Kepalaku berdenyut.
“ Baiklah itu saja. Nanti ambil
obatnya dan makan yang teratur. Jika masih mengalami gejala yang sama segera ke
dokter lagi “ Ujarnya. Aku mengangguk pelan dan ingin segera berlalu. Semoga
saja otakku cepat pulih setelah diberi wejangan.
Untunglah tak perlu waktu lama untuk
mendapatkan obat. Setelah itu, segera aku keluar dari rumah sakit ini. Aku menarik
napas lega seakan terbebas dari ruangan yang sesak, aneh rasanya peningku ini
hilang.
Ah, sudah siang rupanya, batinku.
Sepertinya cacing – cacing dalam perutku berteriak – teriak. Lapar. Kulihat di
seberang rumah sakit ini, ada rumah makan yang murah, aku segera mampir.
“ Pesan nasi pake ayam bumbu “
Kemudian pesananku pun datang.
Dengan riang gembira aku melahapnya, satu sendok - dua sendok. Tiba – tiba aku terpikir untuk
makan sambil membaca novel. Aku pun memeriksa ke dalam tasku, alamak sepertinya
aku terlupa sesuatu. Dompet.
Aku tercekat, dengan panik ku aduk –
aduk tasku. Nihil. Rasanya nasi yang kumakan tadi masih menyangkut dileher. Aku
pucat pasi. Sialnya Handphone pun tertinggal, aku berusaha mengingat – ingat
sebuah nomor yang bisa dihubungi. Gagal. Yang terbayang malah wajah sang dokter
yang sedang berceramah. Lalu seorang pelayan pun datang.
“ Ada apa mbak. Mau pesan air lagi,
teh atau es jeruk mungkin “
“ Anu, saya ada masalah “ Aku seperti habis menelan biji duku. Pahit.
“ Iya masalah apa mbak, kasih tau
saja siapa tahu bisa kami bantu “
“ Dompet saya ketinggalan “
Kemudian suasana pun hening.
Batam,
11.11.2011