Laman

Kamis, 28 Maret 2013

TENTANG SEBUAH PILIHAN


Aku tercenung menatap keluar jendela kamar. Lama kupandangi jalanan yang mulai ramai oleh anak – anak bermain di sore hari. Aku gelisah. Aku harus segera mengambil keputusan yang berat. Lanjut kuliah atau cuti sementara untuk bekerja.

Terdengar suara telivisi yang baru dinyalakan. Berita tentang artis yang berurusan dengan ilmu gaib sampai artis yang masuk penjara. Tiba – tiba berita gosip berganti dengan warta berita tentang negeri ini. Ah, mungkin ayahku yang menggantinya.

Berita itu membahas tentang korupsi lagi yang tak kunjung selesai mulai dari kasus Suap Daging, Proyek Hambalang, Bail Out Century, hakim tertangkap suap.  Tentang anggota DPR yang kecentilan study banding di luar negeri lalu tentang konflik internal partai. Kemudian berita berganti tentang penyerangan lapas cebongan. Tentang melonjaknya harga bawang merah dan bawang putih. Premanisme yang masih menjamur. Sampai berita tentang sepak bola. Biasanya aku selalu berdebat dengan ayah tentang hal – hal yang sedang terjadi di negeri ini.

Aku masih diam menatap langit. Separuh mendengar separuh mencela. Aku begitu bosan dengan berita tentang negeri ini tapi sekaligus prihatin. Kurasa negeriku ini sedang sakit karena pemimpinnya tak punya jiwa kepekaan pada rakyatnya. Mungkin beliau hanya peduli pada partainya saja atau sibuk berburu gelar dari luar negeri. Entahlah.

Ibuku datang menghampiriku dengan sepiring pisang goreng. Ia menepuk pundakku seakan tahu kegelisahanku. Kucomot sebiji pisang dan langsung menggigitnya tanpa melihat ibuku. Sungguh aku tak ingin ia melihat ada air mata yang menggenang dimataku. Kami sama – sama memandang jauh keluar dengan pikiran masing – masing.

Kedua adikku sedang pergi mengaji. Ayahku yang seorang satpam mendapat jatah libur hari ini. Sesekali kupandangi pisang goreng dalam waktu lama seakan memilah - milah. Persediaan beras dirumah kami sudah mulai menipis. Gaji ayahku habis dalam hitungan hari maka praktis ketika akhir bulan kantong mulai mencekik. Pinjaman ayahku di tempatnya bekerja belum lunas untuk biaya sekolah adikku yang nomor 2.

“ Fathin, jangan terlalu dipikirkan, kalau kamu ingin terus kuliah lanjutkan saja. Nanti biar ibu dan ayah yang mengusahakannya “

Aku terharu dengan ucapan ibu. Terasa getir. Pahit nian rasanya perjalanan hidup kami. Bukankah hidup ini berputar? Dari kecil aku sudah terbiasa dengan kesulitan. Terbiasa berjualan apa saja untuk membantu biaya sekolahku. Terkadang aku menyalahkan takdir tentang adanya ketidakadilan.

Kudengar rencana ayah yang akan menjual tivi dan motor untuk biaya kuliahku. Sejak beasiswa pemko Batam dicabut dengan alasan yang tak jelas, selalu saja ada rasa penyesalan kenapa aku memilih kuliah disana. Di tempat kuliahku, yang universitas swasta itu notabene mahasiswanya adalah orang – orang berduit, membawa mobil dan nongkrong di tempat – tempat mahal. Baru terasa biaya kuliah disini begitu mahal.

Aku marah pada pemerintah, pada wakil – wakil rakyat di DPRD itu dalam diam, dalam tangisan yang tak bersuara. Aku kecewa pada mereka. Sungguh mereka seperti tak punya hati. Perjuanganku untuk mendapatkan beasiswa di kampus ini, diawal perkuliahan terasa sia – sia.

Aku memejamkan mata berharap ayahku tak melakukannya. Motor itu adalah motor yang dibelinya sejak kali pertama menikah dan menemaninya selama bekerja sementara tivi adalah hiburan terakhir yang kami miliki. Tempat dimana kami selalu berebut tentang acara apa yang kami tonton, pasti Fadil dan Farhan menangis mendengar rencana ini.

“ Atau ayah akan pinjam lagi dari perusahaan. Pasti dikasih “ Ujar ayahku setelah lama kami terdiam.

Aku terkejut lagi. Tak terhitung sudah berapa hutang ayah, tentu ia menahan malu yang tak terkira. Aku menggigit bibir. Pengorbanan ayahku begitu besar. Ia tahu jika tak sesegera mungkin membayar duit semester dan duit praktek untuk semester 7 ini bisa – bisa aku di drop out oleh pihak kampus.

“ Kamu harus tetap melanjutkan kuliahmu, bukankah menjadi bidan itu cita – citamu? “

Cita – citaku menjadi seorang bidan tumbuh begitu saja. Naluriku untuk menjadi bidan muncul ketika melihat tetanggaku yang tak punya biaya melahirkan harus merelakan bayinya meninggal karena tak tertolong. Sejak itu aku bertekad menjadi seorang bidan yang bisa membantu mereka yang tak punya biaya. Universitasku adalah satu – satunya yang memiliki program study kebidanan itu.

Kulihat ayahku kembali menatap tivi. Kali ini ia kembali diam, tak seperti biasanya yang selalu memperdebatkan masalah yang terjadi di dalamnya. Sama sepertiku,  aku tahu ia sedang berpikir keras. Ayahku begitu bangga menceritakan bahwa anaknya akan menjadi seorang bidan. Tak mungkin aku mengecewakannya. Tapi hidup selalu bercerita tentang sebuah pilihan.

Tiba – tiba suara hape di atas meja bergetar. Dari nomor yang tak kukenal. Aku ragu untuk menjawab. Ah, tak mungkin dari pihak kampus bukankah sekarang masa liburan semester? Ketika hati terus bertanya – tanya akhirnya kuangkat juga.

“ Halo Fathin, kami meminta anda datang ke kantor kami untuk memulai kerja pada hari esok jam 8.30 sebagai admin HR. Kami harap anda bisa bergabung bersama kami “Suaranya begitu merdu dan halus. Seperti bidadari yang menghentak alam mimpiku.

Aku terperangah tak percaya secepat itu aku diterima. Baru seminggu yang lalu aku melakukan interview. Dan besok aku sudah mulai bekerja. Hidup memang tak bisa ditebak.

Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ayah dan ibuku. Surat pengajuan cuti sudah kubuat sebaik mungkin. Aku yakin mereka bisa memahami bahwa aku masih punya tekad untuk menjadi seorang bidan sesuai cita - citaku tapi mungkin tidak dalam waktu dekat. Biarlah pilihan ini menjadi pilihan tersulitku. Aku masih punya semangat dan mimpi untuk menjalani semuanya walau hidup kadang tak berpihak.


Batam, - 2013


Selasa, 05 Maret 2013

SEMANGAT



Semangat
Adalah kita yang selalu punya mimpi dan harapan
Yang bangkit ketika terjatuh
Yang menghapus air mata dengan tawa

Semangat
Adalah kita yang pantang menyerah
Yang maju selangkah dari mereka yang mengejek
Yang terus menggenggam walau sulit

Semangat
Adalah doa dari kita yang selalu optimis
Yang berpikir positif dari mereka yang merendahkan

Semangat
Walau hidup kadang tak berpihak

Batam, 05 Maret 2013

Sabtu, 02 Maret 2013

KETIKA KUCING PUN PATAH HATI


Kupandangi hujan dibalik jendela kamar. Terasa sendu. Sudah 2 hari ini aku tak melihat Kyran, baik disore hari atau ketika kudatangi rumahnya. Aku mengelap kaca yang mulai berembun. Kemanakah ia?

“ Yoona, ayo kemari “

Kutoleh arah sang pemilik suara. Sungguh aku belum terbiasa dengan nama itu karena nama itu baru disematkan padaku sejak demam Korea melanda, sekitar beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya namaku adalah Mimi, tak perlulah kuceritakan sejarah nama itu akan berurai air mata jika kembali kuceritakan. Ah, lupakan saja.

Berbaringku di bawah ketiaknya, seorang gadis yang kupanggil Nona. Aku mulai tinggal disini ketika berumur 10 tahun. Dan sejak berumur 12 tahun, aku sudah bergonta ganti pacar, tak terhitung jumlahnya, baru – baru ini aku berpacaran dengan Kyran – Si Kucing Persia. Tiap malam minggu kudatangi rumah Kyran, maklum saja tak sedikit pun sang pemilik membiarkan Kyran boleh keluar rumah dengan jarak yang jauh. Sebuah pengorbanan cinta yang harus kujalani.

Aku menggeliat – geliat saat Nona mengelus perutku. “ Ah, kucing nakal “

“ Kau sudah makan, Yoona ?”

“ Meoooooonnggg “

Nona langsung melompat dari kasur dan hampir menabrak pintu kamar. Nona selalu memberikan makanan sehat untukku mulai dari ikan, ayam atau makanan khusus kucing. Alhasil ketika ada yang memberikan ikan asin dengan santainya kutolak mentah – mentah. Salah satu temanku yang melihat itu langsung berteriak. “Dasar kucing kampung belagu”

Rindu ini tiba – tiba melanda. Kumerindukan Kyran. Setelah makan siang ini, kuputuskan untuk mencari informasi kemana gerangan ia. Kutembus hujan yang hampir mereda. Tak kuperdulikan teriakan Nona yang memintaku agar jangan pergi. Namun, kerinduan ini seperti hantu yang terus membayangi.

Kutemui satu persatu teman – teman sepermainannya. Dari rumah ke rumah. Hampir semua tak tahu. Aku melangkah lesu. Baru terasa hujan kali ini begitu dingin. Tiba – tiba kulihat Oppa datang menghampiriku. Itu nama panggilan yang diminta olehnya sendiri, setelah melihat kehebohan joget Oppa Gangnam Style. Dasar kucing norak, batinku.

“ Kau tahu tidak, Kyran sudah pindah ke luar kota di bawa oleh pemiliknya “

Aku kaget bukan kepalang. Kenapa ia tak memberitahuku? Bukankah kami adalah sepasang kekasih?. Rasa kecewa melanda hatiku. Kenapa ia tak menulis surat padaku?. Ah, aku baru ingat kucing tak bisa menulis.

“ Kau menangis ?”

“ Bukan. Ini air hujan “

“ Sudahlah jangan ditangisi. Kalian memang tidak berjodoh. Kyran itu adalah kucing Persia tak mungkin ia mau mengawini kucing kampung sepertimu. Bahkan kudengar, ia pindah karena akan dikawinkan dengan kucing Sphinx agar dapat keturunan yang unik “

Ucapan Oppa benar – benar menghentakku, aku tak suka status sosialku dihina. Walau aku Cuma kucing kampung, aku masih punya harga diri. Bukankah cinta itu tak mengenal kasta.

Kutahu ia tak suka Kyran sejak berpacaran denganku. Mereka selalu bertengkar. Oppa sudah lama menyatakan cintanya padaku namun tak pernah kutanggapi. Bahkan aku pernah mengejeknya, si kucing gendut.

Aku merana. Hati ini teriris – iris. Kyran meninggalkanku karena hendak kawin dengan kucing lain. Air mata ini menetes seiring hujan yang semakin deras. Tak kuperdulikan Oppa memanggil namaku karena nama yang ia panggil salah. Mimi. Bukankah ia sudah tahu namaku kini Yoona. Aku tak tahu dimana ia meletakkan otaknya. Aku mendesis jengkel.

Kulihat Nona menangis, semula kukira karena film yang sedang ditontonnya. Ia sedang memutar film Korea, yang aku tak tahu apa judulnya. Ada adegan seorang gadis menangis ditinggal oleh kekasihnya yang hendak berperang. Sedih ini semakin terasa berlipat – lipat.

Kupandangi lagi Nona. Bukan. Ia bukan sedang menangisi film. Sesekali ia memandangi hape bututnya. Ia balik memandangiku.

“ Kau tahu, Jay memutuskan hubungan kami “ Ia menangis. Dia memelukku begitu erat hingga terasa sesak. Air mata kami berjatuhan, seperti saling berlomba – lomba.

Hujan kali ini terasa begitu syahdu seiring tangis yang mulai terisak – isak.

Batam, 01 Januari 2013