Aku
tercenung menatap keluar jendela kamar. Lama kupandangi jalanan yang mulai ramai
oleh anak – anak bermain di sore hari. Aku gelisah. Aku harus segera mengambil keputusan
yang berat. Lanjut kuliah atau cuti sementara untuk bekerja.
Terdengar
suara telivisi yang baru dinyalakan. Berita tentang artis yang berurusan dengan
ilmu gaib sampai artis yang masuk penjara. Tiba – tiba berita gosip berganti dengan
warta berita tentang negeri ini. Ah,
mungkin ayahku yang menggantinya.
Berita
itu membahas tentang korupsi lagi yang tak kunjung selesai mulai dari kasus Suap Daging, Proyek Hambalang,
Bail Out Century, hakim
tertangkap suap. Tentang anggota DPR yang
kecentilan study banding di luar negeri lalu tentang konflik
internal partai. Kemudian berita berganti tentang penyerangan lapas cebongan. Tentang melonjaknya harga bawang merah dan bawang putih. Premanisme
yang masih menjamur. Sampai berita tentang sepak bola. Biasanya aku selalu berdebat dengan
ayah tentang hal – hal yang sedang terjadi di negeri ini.
Aku masih diam menatap langit. Separuh mendengar separuh mencela. Aku begitu bosan dengan berita tentang negeri ini tapi sekaligus prihatin. Kurasa negeriku ini sedang sakit karena pemimpinnya tak punya jiwa kepekaan pada rakyatnya. Mungkin beliau hanya peduli pada partainya saja atau sibuk berburu gelar dari luar negeri. Entahlah.
Ibuku datang menghampiriku dengan sepiring pisang goreng. Ia menepuk pundakku seakan tahu kegelisahanku. Kucomot sebiji pisang dan langsung menggigitnya tanpa melihat ibuku. Sungguh aku tak ingin ia melihat ada
air mata yang menggenang dimataku. Kami sama – sama memandang jauh keluar dengan pikiran masing
– masing.
Kedua adikku sedang pergi mengaji. Ayahku
yang seorang satpam mendapat jatah libur hari ini. Sesekali kupandangi pisang goreng dalam waktu
lama seakan memilah - milah. Persediaan beras dirumah kami
sudah mulai menipis. Gaji ayahku habis dalam hitungan hari maka praktis ketika akhir bulan kantong mulai mencekik. Pinjaman ayahku
di tempatnya bekerja belum lunas untuk biaya sekolah adikku yang nomor 2.
“
Fathin, jangan terlalu dipikirkan, kalau kamu ingin terus kuliah lanjutkan saja.
Nanti biar ibu dan ayah yang mengusahakannya “
Aku terharu dengan ucapan ibu. Terasa getir. Pahit nian rasanya perjalanan hidup
kami. Bukankah hidup ini berputar? Dari
kecil aku sudah terbiasa dengan kesulitan. Terbiasa berjualan apa saja untuk membantu biaya sekolahku.
Terkadang aku menyalahkan takdir tentang adanya ketidakadilan.
Kudengar rencana
ayah yang akan menjual tivi dan motor untuk biaya kuliahku. Sejak beasiswa pemko Batam dicabut dengan alasan yang tak jelas,
selalu saja ada rasa penyesalan kenapa aku memilih kuliah disana. Di tempat kuliahku,
yang universitas swasta itu notabene mahasiswanya adalah
orang – orang berduit, membawa mobil dan nongkrong di tempat – tempat mahal. Baru terasa biaya kuliah disini begitu mahal.
Aku marah pada pemerintah,
pada wakil – wakil rakyat di DPRD itu dalam diam, dalam tangisan yang
tak bersuara. Aku kecewa pada mereka. Sungguh mereka seperti tak punya hati. Perjuanganku untuk mendapatkan beasiswa
di kampus ini, diawal perkuliahan terasa sia – sia.
Aku memejamkan mata berharap ayahku tak melakukannya.
Motor itu adalah motor yang dibelinya sejak kali pertama menikah dan menemaninya selama bekerja sementara tivi adalah hiburan terakhir
yang kami miliki. Tempat dimana kami selalu berebut tentang acara apa yang kami
tonton, pasti Fadil dan Farhan menangis mendengar rencana ini.
“
Atau ayah akan pinjam lagi dari perusahaan. Pasti dikasih “ Ujar ayahku setelah lama
kami terdiam.
Aku terkejut lagi. Tak terhitung sudah berapa hutang
ayah, tentu ia menahan malu yang tak terkira. Aku menggigit bibir. Pengorbanan ayahku begitu besar. Ia tahu jika tak sesegera mungkin membayar duit
semester dan duit praktek untuk semester 7 ini bisa – bisa aku di drop out oleh pihak kampus.
“
Kamu harus tetap melanjutkan kuliahmu, bukankah menjadi bidan itu cita – citamu? “
Cita
–
citaku menjadi seorang bidan tumbuh begitu saja. Naluriku untuk menjadi bidan muncul ketika melihat tetanggaku
yang
tak punya biaya melahirkan harus merelakan bayinya meninggal karena tak tertolong. Sejak itu aku bertekad menjadi seorang bidan
yang bisa membantu mereka yang tak punya biaya. Universitasku adalah satu – satunya yang
memiliki program study kebidanan itu.
Kulihat ayahku kembali menatap tivi.
Kali ini ia kembali diam, tak seperti biasanya yang selalu memperdebatkan masalah yang
terjadi di dalamnya. Sama sepertiku, aku tahu ia sedang berpikir keras. Ayahku begitu bangga menceritakan bahwa anaknya akan menjadi seorang bidan.
Tak mungkin aku mengecewakannya. Tapi hidup selalu bercerita tentang sebuah pilihan.
Tiba
– tiba suara hape di atas meja bergetar. Dari nomor yang
tak kukenal. Aku ragu untuk menjawab. Ah,
tak mungkin dari pihak kampus bukankah sekarang masa liburan semester? Ketika hati terus bertanya
– tanya akhirnya kuangkat juga.
“
Halo Fathin, kami meminta anda datang ke kantor kami untuk memulai kerja pada hari esok
jam 8.30 sebagai admin HR. Kami harap anda bisa bergabung bersama kami “Suaranya begitu merdu dan halus.
Seperti bidadari yang menghentak alam mimpiku.
Aku terperangah tak percaya secepat itu aku diterima. Baru seminggu
yang lalu aku melakukan interview. Dan besok aku sudah mulai bekerja. Hidup memang tak bisa ditebak.
Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada
ayah dan ibuku. Surat pengajuan cuti sudah kubuat sebaik mungkin. Aku yakin mereka bisa memahami bahwa aku masih punya tekad untuk menjadi seorang bidan sesuai cita - citaku tapi mungkin tidak dalam waktu dekat. Biarlah pilihan ini menjadi pilihan tersulitku. Aku masih punya semangat dan mimpi untuk menjalani semuanya walau hidup kadang tak berpihak.
Batam,
- 2013