PENGGALAUAN
YANG GAGAL
Aku memutar lagu terlalu lamanya
Vierra, entah sudah yang kesekian kalinya. Pagi itu aku masih berbaring di atas
kasur, memandangi langit – langit kamar sambil komat kamit mengikuti lirik
lagu. Sesungguhnya aku sedang sedih, rasanya air mata ini ingin tumpah.
Kuabaikan adikku yang keluar masuk kamar walau sesekali ia menoleh ke arahku.
Setelah itu ibuku pun ikut – ikutan bolak balik ke kamarku. Aih, mereka merusak
konsentrasiku.
“ Ngapain sih ibu sama Ayu? “
Kulihat mereka pura – pura kaget.
“ Menjenguk kamu lah “ Ujar ibu
tersenyum penuh arti.
“ Memangnya aku lagi sakit “ Aku
kembali ke posisi awal. Tepar – tepar.
“ Yah, siapa tahu kamu lagi sakit “
Adikku mencoba meledek.
“ Sakit cinta “ Kali ini ibuku yang
meledek lagi. Aku tergelak lalu terbatuk – batuk. Aku tak ingin menjawab. Aku
biarkan mereka meledekku. Mereka bernyanyi – nyanyi dengan suara cempreng. Aku
malas meladeni.
Minggu ini aku hanya ingin
menghabiskan waktu di rumah, lebih tepatnya di kamar. Tidak ada niat pergi
kemanapun bahkan ketika adikku merayu untuk mengajakku nonton di bioskop
seperti yang biasa kami lakukan.
“ Sesungguhnya aku lagi malas bicara
apalagi pergi kemanapun. Aku harap kamu bisa membaca pikiranku “ Kataku penuh
takzim seperti seorang guru yang sedang menasehati anak didiknya.
“ Lebay. Memangnya aku ini Deddy
corbuzier “ Ia mendelik padaku. Aku cuma menggelengkan kepala lalu masuk
kembali ke kamar. Aku tak peduli bahkan jika ia ingin menjadi Limbad atau Ki
joko Bodo sekalipun. Aku cuma ingin dia mengerti bahwa hari ini aku hanya ingin
menggalau. Hah..
Aku akan melakukan sesuatu untuk
kamarku. Merapikan tempat tidur, membereskan lemari pakaian, merapikan buku dan
segala hal lainnya. Hanya di kamar tanpa bicara walau kutahu itu tak akan bisa.Seisi
rumahku bingung melihat sikapku. Sesekali aku hanya ke toilet atau jika lapar
aku pergi ke dapur. Ayahku mencolek ibuku lalu ibuku hanya mengangkat bahu
tanda tak mengerti. Nanti jika sudah kuat aku akan ceritakan semuanya pada ibu
dan adikku. Tunggu saja.
Setelah semuanya beres, aku kembali
membaringkan tubuh di atas kasur dan kembali menatap langit – langit kamar.
Kali ini aku memutar lagu James Blunt – Good bye my lover. Belum sempat si
James menyelesaikan lagunya langsung diganti adikku oleh suara Ayu ting ting
dengan Alamat palsunya itu. Aku meradang.
“ Eh, kalau mau mutar lagu
kembaranmu, sana di luar “ Aku melotot ke arahnya. Untung tak copot. Namun ia
hanya meletakkan jari telunjuk ke mulutnya seakan menyuruhku diam. Lalu ia
berjoget ala Sule. Menyebalkan.
“ Ibu dulu pernah muda, pernah jatuh
cinta tapi tidak seperti itu sikap ibu, biasa saja kok “ Ujar ibuku dari ruang
dapur yang kebetulan bersebelahan dengan kamarku. Kali ini adikku mengangguk
penuh hormat macam abdi kerajaan dan seakan ingin memberitahuku harusnya aku
seperti itu. Dasar gila.
“ Iya, betul itu ibumu “ Ayahku buka
suara ikut – ikutan.
“ Eh, Patrick. Dengerin tuh “ Aku
melotot lagi. Aku paling benci dipanggil Patrick. Di rumah ini, kami punya
panggilan khusus seperti dalam film Spongebob. Rumahku namanya Bikini bottom.
Ayu, dipanggil tuan Krabb karena dia suka mencubit dan sedikit pelit soal
makanan. Rahman, si cerewet dan jailnya minta ampun dipanggil Squidword. Adjie,
tentu saja Spongebobnya dan yang jadi Planktonnya adalah ponakanku, Iqbal.
Sementara aku, dipanggil Patrick si tukang makan dan lemotnya minta ampun. Hah,
aku tidak merasa sama dengan karakter Patrick, jauh malah. Tapi aku tak kuasa
menghapus nama yang sudah melekat didiriku karena kebetulan kami suka nonton film
Spongebob.
Aku menutup telingaku dengan bantal.
Kubiarkan saja, Ayu memutar lagu seenak udelnya. Sebodo amat. Lalu kudengar
lamat – lamat suara cempreng Rahman dan ia menghampiriku.
“ Kenapa sih kakakku yang gendut,
sakit ya ?” Tanyanya dengan sangat polos. Biasanya ia mencubit lenganku saking
gemasnya kalau aku hanya tiduran di kasur. Katanya sama persis dengan bantal,
lembek. Jika bukan Patrcik, maka mereka akan memanggilku gendut. Kurang ajar
betul.Sepertinya si Ayu ingin menjawab sekaligus menggodaku, nah belum sempat
ia mengeluarkan kata – kata, aku langsung memotongnya.
“ Maaf ini bukan taman lawang. Si
cewek jadi - jadian ini sedang tahap rehabilitasi. Silahkan anda keluar “ Ayu
mendelik. Keluarlah tawa khas Rahman, keras dan menggelegar. Dia paling senang
jika ada orang lain yang terhina dina. Lalu kami pun perang bantal.
Nah, kawan. Percuma saja jika ingin
menggalau di rumahku. Bising. Aku tak bisa jika hanya diam mematung di dalam
kamar karena mereka pasti akan menggodaku. Setelah perang selesai, kami tepar
di atas kasur macam ikan asin. Kami tertawa keras. Ibuku menggeleng – geleng
melihat kami di dalam kamar. Sayang tidak ada Spongebob.
Kembali ke perasaanku. Galau ini
masih melanda, sulit untuk dihapuskan. Ah, setelah tertawa perasaanku kembali
sepi, gundah gulana. Rahman keluar dari kamar setelah dipanggil oleh temannya.
Kembali cuma kami berdua, aku dan si Ayu. Kali ini ia memutar lagu Melinda,
cinta satu malam. Muak mendengarnya.
“ Eh, pasti kakak lagi mikirin si om
Ardan “ Tebaknya sok tau. Aku tak menjawab. Ardan, cowok yang selama ini sudah
membuatku sesak napas karena ia sudah menutup segala lubang hati.Ah, tak jelas.
Malas aku memikirkannya.
Aku pun membuka tutup laptop
beberapa kali. Aku bimbang. Seandainya ia bisa bicara, pastilah laptop itu
menjerit. Ku buka facebook dan twitter, membaca status orang lain termasuklah
status para artis. Aku pun hendak menuliskan statusku. Sekedar update agar
semua orang tahu bahkan Syahrini pun harus tahu, hari ini aku sedang apa. Sesuatu
yah. Aku mulai mengarang, kira – kira seperti apa statusku hari ini. Kulihat
Ayu mencuri – curi pandang.
“ Aku sedang menggalau “ Jeritnya
macam orang sedang mendeklamasikan puisi. Kulempar ia dengan bantal karena
mengganggu konsentrasiku. Ia mengelak lalu kembali berteriak lantang.
“ Oh Ardan, aku menunggumu. Jangan
lama - lama “ Lalu ia memutar lagu Terlalu lama nya Vierra. Berisik.
Karena aku tak bisa berkonsentrasi.
Iseng aku membuka profile Ardan. Aku sekedar ingin tahu apa statusnya hari ini.
Ia belum membuat status, hanya status untuk sabtu malam alias malam minggu.
Sepi, katanya. Aku ingin tertawa, kenapa statusnya sama, hanya saja aku tak
sempat menuliskannya. Ah, ternyata ada banyak kesamaan diantara kami yang
memberikanku sebersit ide untuk hari ini. Lalu aku pun menuliskannya.
“ Kebetulankah atau hanya perasaanku saja…”
Like.
Comment. Share.
Belum ada 5 menit, sudah ada 5 orang
yang memberikan jempolnya. Rasanya aku ingin melambaikan tangan dan mengucapkan
terima kasih karena memahami perasaanku hari ini. Si Ayu memonyongkan mulutnya
lalu terbatuk – batuk keras. Aku pun menyodorkan minum.
“ Minum Yu, minum.. “
“ Aku pengen muntah “
“ Sini biar aku tampung “ Lalu ia
pura – pura muntah. Aku tertawa keras.
“ Kenapa sih kakak, ayolah cerita “ Ia
merayuku manakala aku tak bercerita tentang masalahku.
“ Kan sudah biasa cinta bertepuk
sebelah tangan, biasanya nggak begini – begini amat “ Sambungnya lagi. Adikku
ini benar – benar sok tahu, ia seakan menjadi mbah Google. Serasa tahu
segalanya. Aku masih diam. Ia kembali merayuku.
Ibuku datang ke kamarku, beliau
hendak pergi ke pengajian sore ini. Sebelum pergi ia menepuk – nepuk pundakku
lalu berpesan.
“ Indah, di belakang ada tali raffia
warna pink “ Kemudian disambut tawa serentak oleh ibu dan adikku. Kompak benar.
“ Memangnya aku mau bunuh diri “ Aku
pun manyun. Lagi mereka tertawa keras. Kali ini si Ayu tak memutar lagu tapi
menyanyikan lagunya Dewa dengan Risalah hati. Jelek benar tapi ia percaya diri
sekali.
Aku
bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta
“ Eh, ganti – ganti “ Seenaknya saja
ia mengganti lagu. Kali ini Padi dengan Menanti sebuah jawabannya.
Sepenuhnya
aku ingin memelukmu, mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
Setulusnya
aku akan terus menunggu, menanti sebuah jawaban tuk memilikimu
Biasanya jika lagu ini dinyanyikan,
aku pasti ikut bernyanyi. Aku suka lagu ini. Setahuku sejak aku pertama kali
patah hati, lagu inilah yang mengiringi kesedihanku. Waktu itu cintaku tak
berbalas. Maka setiap kali cinta tak sampai, aku pasti memutar lagu ini bak
sebuah lagu kerajaan. Saat itulah aku termehek – mehek, entah untuk yang
kesekian kalinya.
“ Mari kita menggalau “ Kali ini Ayu
macam masinis kereta api, tapi kelas ekonomi.
“ Eh, sana mandi “ Lalu aku
menghembuskan napas tepat ke arah mukanya, yang membuatnya kaget bukan
kepalang.
“ Kakak, bau ih “ Ia melompat dari
kasur. Kemudian kami pun melanjutkan perang, adu bau mulut. Hah..
Malamnya, aku masih saja di dalam
kamar. Tadinya malah aku tak ingin mandi. Kuabaikan film favorit yang kebetulan
tayang hari ini. Aku masih saja menggalau. Ayu, adikku ini setia sekali
mengekoriku. Ia masih saja mengharapkan aku untuk bercerita. Aku ingin sekali
bercerita tapi aku malu setengah mati. Biasanya aku bercerita tentang cinta
yang tak berbalas sampai aku muak menceritakannya. Anehnya Ayu tak pernah
bosan. Ia dengan setia mendengarnya seakan ikut merasakan kesedihanku. Sehabis
bercerita ia menepuk – nepuk pundakku.
Aku mencari – cari posisi yang
nyaman untuk bercerita. Kuputar – putar kepala dan kakiku. Kini kepala di
lantai dan kaki masih berada di atas kasur. Aku menatap langit – langit kamar.
Kemudian Ayu mengikuti gerakanku, seakan tahu aku hendak mulai bercerita.
“ Wahai adikku, aku akan mulai
bercerita “ Kataku penuh hikmat serasa jadi seorang raja yang sedang memberikan
titah kepada rakyatnya.
“ Walau kau masih kecil, kuharap
setelah aku bercerita nanti kau akan mengerti “
“ Halah, langsung saja nggak usah
formal – formalan begitu. Muak ah” Ia masih mengikuti gerakanku. Dengan
terpaksa aku pun bercerita.
“ Mulai hari ini sampai 1 bulan ke
depan, duitku habis. Sudah tidak punya persediaan untuk kemana – mana, cukup
untuk ongkos kuliah bahkan jajan pun aku harus membawa bekal dari rumah. Di
kantor, aku terpaksa mencari traktiran. Kantongku cekak bulan ini, habis untuk
bayar kuliah dan sisanya aku bayar pesanan belanja online. Aku menyesal belanja
online itu “
Kemudian suasana hening, kami hanya
memandang langit – langit kamar tanpa berkata - kata. Kali ini ia tak tahu
berkomentar apa. Hanya suara Vierra dengan terlalu lamanya yang mengalun di
udara. Judulnya seakan mewakili jerit hatiku, Terlalu lama
menunggu gajian.